Skip to main content

NILAI-NILAI TUTURAN RITUAL TAJI AYAM SEBAGAI LAMBANG PERDAMAIAN PADA MASYARAKAT SABU DI DESA RAEROBO KECAMATAN SABU LIAE KABUPATEN SABU RAIJUA



NILAI-NILAI TUTURAN RITUAL  TAJI AYAM SEBAGAI LAMBANG PERDAMAIAN  PADA MASYARAKAT SABU 
DI DESA RAEROBO KECAMATAN SABU LIAE  KABUPATEN SABU RAIJUA

S K R I P S I
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
                                                                                                               




OLEH
MODIP RADJA WILA
NIM 1120717297
                                                                               

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI NTT
KUPANG
2015



BAB  I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Orang Sabu pada umumya menamakan dirinya Do Hawu. Pulau Sabu mereka sebut Rai Hawu. Do adalah singkatan dari kata dou, artinya orang atau manusia. Jadi arti kata Do Hawu adalah orang atau manusia Hawu. Bahasa orang Sabu disebut Li Hawu. Segala apa saja yang dipandang sebagai yang asli atau yang berasal dari Sabu selalu dikenakan kata sandang Hawu, sedangkan yang berasal dari luar atau bukan asli Sabu dikenakan kata sandang Jawa. Kepulauan sabu terletak di antara pulau Sumba, pulau Rote dan pulau Timor pada 1210 45’ sampai 1220 4’ BT dan 100 27’ sampai 100 38’ LS. Kepulauan ini terdiri dari 3 buah pulau yaitu pulau Sabu, pulau Raijua dan pulau Dana. Pulau –pulau itu pada mulanya ada penduduknya.
       Orang Sabu perlu memiliki pandangan kesejarahan agar dapat menyadari dari mana asal-usulnya, di tempat mana ia berada, macam apa identitas dan kepribadiannya, sikap dan peranan yang bagaimana yang harus ia miliki ditengah-tengah pergaulan dengan sesamanya, terutama dengan sesame bangsanya yaitu bangsa Indonesia.
       Menurut pengamatan dan kajian para ahli, nenek moyang orang Sabu adalah manusia pemberani, percaya pada diri sendiri dan mempunyai harga diri. Sebagai petani/peternak/penyadap lontar mereka ulet dan tahan uji, sebagai prajurit mereka pemberani/pantang mundur di medan laga, sebagai pelaut mereka telah sampai kemana-mana tanpa gentar diterjang ombak dan gelombang pasang. Kini anak cucunya berada dalam dunia yang berkembang penuh gelora dan gejolak. Keresahan muncul dimana-mana, bahkan dibeberapa belahan dunia, diberbagai pelosok tanah air sudah yang mendekati puncak kritis. Agar mampu bertahan dalam menghadapi berbagai macam tantangan yang terus-menerus menghadang, orang Sabu harus dapat dapat memelihara identitas dan kepribadiannya sebagaimnana yang diwarisi dari nenek moyangnya yaitu watak luhur dan bijaksana, pemberani, pandai, jujur, pandai berkomunikasi, solidaritas sosial yang tinnggi dan rela berkorban untuk orang lain dan demi menegakan kebenaran dan keadilan.
       Dengan belajar dari sejarahnya dan sejarah orang lain, orang Sabu dapat memelihara warisan nilai-nilai tersebut agar tetap lestari. Untuk itulah kita patut mengetahui akan asal-usul nenek moyang kita, bagaimana perkembangan selanjutnya setelah mereka menghuni kepulauan Sabu, bagaimana relasi dan interaksi dengan komunitas lain yang berada disekitarnya. Dari situ kita dapat mengenal akan budaya kita dan perkembangan awal sampai sekarang. Salah satu budaya yang masih dipertahankan samapi saat ini yaiti Ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) yang dianggap sebagai lambang perdamaian.
  Keunikan dari Taji Ayam (Pe’iu Manu) merupakan salah satu tradisi masyarakat Sabu di desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae  Ritual  ini dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun dari generasi sekarang ke generasi yang akan datang. Ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu)Kegiatan ini dilakukan di lapangan desa Lede kei kecamatan Sabu Liae. Masyarakat mempercayai tua adat untuk melakukan ritual dan upacara disambut terlebih dahulu oleh Tua adat. Sementara masyarakat sibuk mempersiapkan Ayam untuk diadu. Taji Ayam (Pe’iu Manu) merupakan kegiatan adat rutin yang dilaksanakan setiap tahun di Sabu Khususnya Sabu Liae. Kegiatan Taji Ayam (Pe’iu Manu) adat sesungguhnya bukanlah kegiatan judi. Namun merupakan kegiatan yang sakral dan kaya makna. Filosofi Taji Ayam adalah bahwa setiap darah ayam yang tumpah ke tanah, merupakan perlambang/simbol agar tidak boleh ada lagi darah anak manusia (keturunan Hawu Miha) yang tumpah ke tanah Sabu sebagai akibat konflik apapun.
Sehingga maknanya adalah bahwa sesama anak bangsa (sabu) dihimbau untuk tidak berkonflik yang berakibat pada pertumpahan darah. Hiduplah yang rukun dan damai seorang dengan yang lain di antara anak keturunan Hawu MihaSabung ayam adalah permainan adu dua ekor ayam dalam sebuah kalangan atau arena. Biasanya ayam yang diadu hingga salah satu melarikan diri atau kalah, bahkan hingga mati. Permainan ini biasanya diikuti oleh perjudian yang berlangsung tak jauh dari arena adu ayam.
Sampai saat ini, masyarakat Sabu masih mempertahankan ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) sebagai warisan budaya dan dapat dipertahankan dengan baik yang bergerak dari generasi–kegenerasi yang akan datang.
Dari gambaran tersebut penulis berkeinginan untuk mengkajinya dalam sebuah penelitian dengan judul Nilai-Nilai Tuturan Ritual  Taji Ayam sebagai Lambang Perdamaian pada Masyarakat Sabu di Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae Kabupaten Sabu Raijua
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah nilai – nilai  apa  sajakah yang  yang terdapat dalam tuturan ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) pada masyarakat Sabu di desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae Kabupaten Sabu Raijua?
1.3  Tujuan Penelitian
 Tujuan dalam penulisan ini adalah  untuk  mengidentifikasi dan mendeskripsikan nilai – nilai yang terdapat dalam tuturan ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) pada masyarakat Sabu di desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae Kabupaten Sabu Raijua.
1.4 Manfaat Penelitian
a.    Sebagai salah satu sumbangan pemikiran penulis khususnya  Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Unversitas PGRI Nusa Tenggara Timur.
b.    Sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya
c.    Sebagai upaya untuk memperkenalkan kepada masyarakat Sabu Liae tentang pentingnya ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) pada masyarakat Sabu di Desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae Kabupaten Sabu Raijua.


BAB II
ACUAN  TEORI DAN BATASAN KONSEP
2.1 Acuan  Teori
            Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Sosiologi Sastra. Dalam wacana studi satra, sosiologi sastra sering kali didefinisikan sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sastara yang berusaha memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) (Damono 1979:1). Sesuai dengan namanya, sebenarnya sosiologi sastra memahami karya sastra melalui perpaduan ilmu sastra dengan ilmu sosiologi (interdisipliner).
Swingewood (1972) dikutip dari http://mishilisme.blogspot.com (Razida S) mendefinisikan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
            Apa yang diuraikan oleh Swingewood tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan oleh Sukanto (1970), dikutip dari http://mishilisme.blogspot.com (Razida S) bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha mendapatkan pola umum kehidupan masyarakat.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa, baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Sebagai pendekatan yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam prespektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukturalisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat.
Bertolak dari hal tersebut, maka dalam prespektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain dapat dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali (representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai atau ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Bahkan, sastra juga sangat mungkin menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang humanis. 



2.2 Batasan Konsep
Konsep yang diuraikan pada bagian berikut ini adalah : konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan : (1) Bahasa,  (2) Kebudayaan, (3) Masyarakat,  (4) Nilai, (5) Tuturan Ritual  (6) Taji Ayam
.
2.2.1   Bahasa
Menurut Soejono (1983:01) bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.  Bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.  Bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang digunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri  (Kridalaksana 1993:21). Bahasa adalah salah satu salah satu alat komunikasi yang digunakan oleh setiap orang baik individu maupun secara berkelompok atau sebagai makluk sosial. Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat dibutuhkan dan memegang peranan penting sebagai ekspresi jiwa yang ada. Tanpa bahasa maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia sangat membutuhkan bahasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu budaya dan bahasa memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan karena dengan adanya bahasa masyarakat dapat menciptakan berbgai macam budaya disekitarnya.
Djajasudarma (2002:34) menjelaskan bahwa bahasa merupakan media  simbolik dan mampu menembus ruang dan waktu. Artinya bahwa dimanapun dan kapanpun kita dapat menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Sebagai simbol bahasa dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya, baik yang sekarang yang ada maupun yang telah dilewatkan dan yang akan datang karena tanpa bahasa tidak akan ada budaya.
Bahasa sebagai praktikum dan sumber daya budaya nampak sangat jelas dalam kehidupan sosiokultural.  Bahasa digunakan dalam konteks sosial, bahkan melekat dengan seluruh aspek kehidupan dan perilaku manusia sebagai bagian dari suatu masyakat. Salah satu budaya yang masih dipertahankan pada masyarakat  Sabu  di desa Raerobo adalah Taji Ayam (Pe’iu Manu)  ini dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dari nenek moyang dan sampai dengan saat ini, adat tersebut masih dipertahankan dan dipelihara dengan baik.
2.2.2  Kebudayaan
 Taylor (2003:2) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan bidang yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
  Lowie dalam Maran (2000:26) mengatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat mencakup kepercayaan, adat-istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau non formal. Sementara Koentjaraningrat (1990:82) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
   Pendapat-pendapat tersebut menjelaskan tentang pentingnya kebudayaan bagi kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan proses memanusiakan manusia yang terdiri dari berbagai kesatuan etnik yang memiliki pola-pola perilaku yang berbeda. Setiap ide-ide dan gagasan yang dimiliki telah dituangkan dalam berbagai bentuk hasil karya manusia yang kemudian dimanfaatkan dalam kehidupannya. Hal ini tidak terjadi dengan sendirinya akan tetapi melalui proses pembelajaran dalam lingkungan di mana manusia itu berada.
Selain dari pada itu kebudayaan manusia sangat luas dan kompleks tidak hanya terbatas pada salah satu jenis kebudayaan akan tetapi manusia mampu manciptakan beragam kebudayaan. Keseluruhan kompleks dari jenis kebudayaan yang telah diuraikan maka salah satu bentuk hasil budaya masyarakat di sabu khususnya masyarakat Desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae Kabupaten Sabu Raijua.
      Tylor dalam Sukidin (2003:100) mengatakan bahwa masyarakat melakukan upacara oleh karena adanya kesadaran akan adanya roh jiwa,roh halus yang asalnya menganut Animisme (semua benda mempunyai jiwa),berkembang menjadi Monotheisme (hanya satu benda/jiwa yang paling unggul), manusia punya keterbatasan dalam pemikiran akal misalnya magic,yakni segala system perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan mengusai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan hukum gaib yang ada dalam megic bukanlah kemampuan manusia. Manusia melalukan upacara karena dalam kehidupannya mengalami masa krisis (misalnya sakit dan sebagainya.Untuk itu diperlukan upacara/ritus yang berguna dalam menangulangi keadaan krisis tersebut. Manusia merasa kagum terhadap gejala alam sebagai kemampuan yang luar biasa (The Supranatural).
Budaya Taji Ayam  (Pe’iu Manu) mengembangkan presepsi masyarakat tentang keselarasan dengan berguru kepada sang pencipta. Menurut masyarakat kearifan hidup mereka datang dari bentuk sifat dan kehidupan alam dan sang pencipta. Bahwa semua berkat yang diperoleh manusia didapatkan dari sang pencipta dan para leluhur.
2.2.3 Masyarakat
Soekanto (1982:187) mengatakan bahwa antara manusia dan kebudayaan tak dapat dipisahkan. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena warga mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Budaya yang masih dipertahankan saat ini pada masyarakat Sabu Liae di desa Raerobo yakni budaya Taji Ayam (Pe’iu Manu) dan  Masyarakat masih melestarikan budaya tersebut karena merupakan hubungan sosial yang dinamis antara manusia dengan sang pencipta dan leluhur.
2.2.4   Nilai
Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan.
  Bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Bagi masyarakat setempat  yang dimaksud dengan pemimpin ritual adalah orang yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan sebuah upacara. Ia dipercaya oleh karena dalam dirinya ada kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain.Pemimpin ini harus memiliki sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat. Berdasakan informasi yang diperoleh bahwa biasanya pemimpin  ritual  Taji Ayam  adalah tua adat atau  Deo Ama . Tua adat ini bukan sembarang orang akan tetapi memiliki latar belakang sosial seperti orang yang berketurunan bangsawan atau dipandang  punya pengaruh tersendiri. Pemimpin ini dianggap mempunyai kekuatan gaib sehingga mampu berkomunikasi dengan roh-roh halus dari arwah leluhur. Dari uraian di atas ada beberapa nilai yang hidup dan bertumbuh dari khasanah budaya masyarakat Sabu. Menurut Pdt. Dr Phil Eka Darmaputera dalam Robert Riwu kaho (1988), nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang masyarakat serta member mkna hidup. Nilai –nilai itu menunjukkan ciri –ciri yang khas yang mewarnai dan menjiwai kepribadian, identitas atau jati diri orang sabu pada umumnya. Adapun nilai-nilai yang dimaksud adalah:
1.        Sifat dan sikap religious yang kental disertai pola pikir  yang asosiatif-polaris-intergralistik atau dialektis-inklusif.
2.        Menjunjung tingi kehidupan, kesetaraan nilai dan martabat manusia, menempatkan kekeluargaan dan persaudaraan di atas segala yang bersifat kebendaan (social kolektif).
3.        Mengutamakan harmoni internalisasi antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan sesamanya yang tampak dalam sikap mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, timbang rasa atau teposeliro, kejujuran, toleransi, semngat gotong royong dan saling menolong, serta solidaritas social yang kuat, musyawarah mufakat.
4.        Sikap menghormati alam karena alam dipandang sebagai bagian dari hidupnya.
5.        Menghormati orang tua dan leluhur serta taat pada pimpinan atau sesepuh.
6.        Menjunjung tinggi adat – istiadat berdasarkan kepada kepercayaan bahwa adat – istiadat adalah berasal dari Yang Maha Kuasa yang diturunkan melalui para leluhur untuk ditegakkan demi kebaikan hidup bersama.
7.        Memiliki kerinduan untuk maju, etos kerja yang tinggi yang taat rencana, tekun dan tahan menderita.
8.        Senang kepada ketrbukaan dan berbicara berterus – terang (transparansi).
9.        Memiliki budaya salah dan budaya malu yang kuat.
10.    Menyukai kebebasan, berani, pantang mundur,  gigih dan berjuang.
2.2.5   Tuturan Ritual
Dalam Kamus linguistik (Kridaklasana; 2005:221) tuturan adalah wacana yang menonjolkan serangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu, sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia (2005:1231), tuturan adalah ucapan, kata dan bicara, maka dapat dikatakan bahwa tuturan adalah bahasa yang disampaikan penutur untuk tujuan tertentu dalam menyampaikan serangkaian peristiwa dalam tatanan waktu tertentu.
Berdasarkan konteks pemakaian dan diksi (pilihan kata), serta berbagai komponen penciri lainnya, tampak bahwa tuturan ritual (bahasa ritual; ritual language menurut istilah Fox) berbeda dengan tuturan biasa. Menurut Fox (1986: 102), bahasa ritual secara khas berbeda dengan bahasa sehari-hari (ordinary language). Pada bagian lain dan tulisannya itu, Fox mengatakan bahwa bahasa ritual mendapatkan sebagian \besar ciri puitiknya dari penyimpangan-penyimpangan sistematis terhadap bahasa sehari-hari. Bahasa ritual memiliki bobot atau isi budaya (cultural content) yang mestinya dijelaskan secara tekstual, kontekstual, dan kultural (1986: 13).
2.2.6  Taji Ayam (Pe’iu Manu)
 Ritual Taji ayam merupakan salah satu tradisi masyarakat Sabu di desa Raerobo Kecamatan Sabu Liae  Ritual  ini dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun dari generasi sekarang ke generasi yang akan datang. Ritual Taji Ayam Kegiatan ini dilakukan di lapangan desa Lede kei kecamatan Sabu Liae. Masyarakat mempercayai tua adat untuk melakukan ritual dan upacara disambut terlebih dahulu oleh Tua adat. Sementara masyarakat sibuk mempersiapkan Ayam untuk diadu. Taji Ayam (Pe’iu Manu) merupakan kegiatan adat rutin yang dilaksanakan setiap tahun di Sabu Khususnya Sabu Liae. Kegiatan Taji Ayam adat sesungguhnya bukanlah kegiatan judi. Namun merupakan kegiatan yang sakral dan kaya makna. Filosofi Taji Ayam adalah bahwa setiap darah ayam yang tumpah ke tanah, merupakan perlambang/simbol agar tidak boleh ada lagi darah anak manusia (keturunan Hawu Miha) yang tumpah ke tanah Sabu sebagai akibat konflik apapun.
Sehingga maknanya adalah bahwa sesama anak bangsa (sabu) dihimbau untuk tidak berkonflik yang berakibat pada pertumpahan darah. Hiduplah yang rukun dan damai seorang dengan yang lain di antara anak keturunan Hawu MihaSabung ayam adalah permainan adu dua ekor ayam dalam sebuah kalangan atau arena. Biasanya ayam yang diadu hingga salah satu melarikan diri atau kalah, bahkan hingga mati. Permainan ini biasanya diikuti oleh perjudian yang berlangsung tak jauh dari arena adu ayam.
Sampai saat ini, masyarakat Sabu masih mempertahankan Taji Ayam (Pe’iu Manu) sebagai warisan budaya dan dapat dipertahankan dengan baik yang bergerak dari generasi –kegenerasi yang akan datang.
Sebuah hasil budaya masyarakat dimana mempercayai bahwa ritual Taji Ayam  tersebut memiliki nilai tersendiri. Masyarakat sampai dengan saat ini masih mempertahankan budaya tersebut Taji Ayam (Pe’iu Manu) sebagai lambang perdamaian  ini berlaku bagi masyarakat setempat khususnya masyarakat Sabu Liae di Desa Raerobo tersebut.














BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1  Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:  kualitatif yaitu sejumlah data berbentuk kalimat. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif/tidak terukur (Arikunto,1992:23) Alasannya bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data yang berasal dari informasi seperti tua-tua adat, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif  kualitatif.
Penelitian deskkriptif bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa yang ugen terjadi pada masa kini. Penelitian deskripsi dimulai dari munculnya minat peneliti terhadap suatu fenomena yang sedang menjadi perhatian peneliti.
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1975:3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati. (Nasir,1986:63) mengatakan metode deskriptf adalah metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, atau sistem pemakaian dan suatu kelas pristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan-lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan  fenomena  yang diselidiki.
3.2.  Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kajian  nilai-nilai ritual Taji Ayam (Pe’iu Manu) sebagai lambang perdamaian  adalah  Data kualitatif  yaitu dalam bentuk kata-kata atau kalimat berbentuk tuturan dari para tua adat.
3.2.2  Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Raerobo khususnya tokoh adat dan tokoh masyarakat yang mengetahui adat dalam wilayah tersebut. Berhubungan dengan itu, ditetapkan sejumlah informan dalam penelitian ini yang mengacu pada pendapat Samarin (1998:55-57) syarat-syarat informan adalah sebagai berikut:
a.    Tokoh adat, Tokoh Masyarakat, masyarakat Jingitiu yang betul- betul mengetahui tentang “  Nilai Tuturan Taji Ayam Sebagai Lambang Perdamaian” (Pe’iu Manu).
b.    Sehat Jasmani dan rohani
c.    Penduduk asli
d.   Memahami betul tentang masalah penelitian
e.    Berusia kira-kira 55-80
f.     Dapat dipercaya.



3.3 Teknik Penelitian
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik sebagai berikut
a.         Observasi. Peneliti mengadakan pengamatan langsung pada lokasi penelitian dengan menitik beratkan pada objek yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
b.        Teknik wawancara. Peneliti mengadakan wawancara langsung dengan informan berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disediakan. Untuk memudahkan peneliti dalam wawancara ini peneliti menyiapkan alat bantu berupa buku catatan mengenai hasil wawancara dengan informan, dengan tujuan agar hasil wawancara tersebut dikumpulkan, proses wawancara antara peneliti dan informan akan berlangsung secaca kekeluargaan.
c.         Rekaman.Peneliti melakukan kegiatan rekaman dengan para informan yang betul-betul memahami tentang Nilai –Nilai ritual Taji Ayam sebagai lambang perdamaian.
d.        Dokumentasi. Peneliti membaca literatur-literatur atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian.




3.3.2  Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan teknik  sebagai berikut:
1.        Transkip data. Data yang diperoleh berupa kata-kata bahasa daerah masyarakat setempat,selanjutnya transkip dengan huruf dan ejaan Bahasa Indonesia.
2.        Terjemahan. Data yang telah diperoleh penulis mencoba menerjemahkan kata-kata bahasa daerah mana yang ke dalam bentuk  ejaan bahasa Indonesia.
3.        Indetifikasi. Data yang ada penulis mencoba memilah kata-kata yang cocok dengan ejaan bahasa Indonesia dan ada kaitannya dengan bahasa Indonesia.
4.        Simpulan. Dari data yang telah diolah penulis membuat kesimpulan kaitanya dengan masalah penelitian.
















BAB IV
HASIL PENELIITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitia

1  Letak Georafis
Kepulauan sabu terletak diantara pulau sumba, pulau rote dan pulau timor, pada 1210 45’ sampai  122 4’ BT dan 10 27’ sampai 10 38’ LS. Kepulauan ini terdiri dari tiga buah pulau yaitu pulau sabu, raijua dan dana. Namun pulau yang berpenghuni adalah pulau sabu dan pulau raijua. Menurut cerita orang tua-tua, sebenarnya ada pulau yang keempat yang bernama rai kelara, namun pulau ini tenggelam ketika terjadi air bah yang disebut lale dahi.
Kecamatan sabu terdiri dalam lima wilayah kecamatan yaitu :
1.      Sabu Timur dengan ibukota Below
2.      Sabu Barat dengan ibukota Mehara
3.      Sabu Utara dengan ibukota Seba
4.      Sabu selatan dengan ibukota Liae
5.      Raijua dengan ibukota Walurede
4.1.2  Keadaan Alam dan  Iklim
Keadaan alam di pulau sabu relative sama. Ada sedikit perbedaan ialah bahwa pada wilayah bagian utara relative lebih jauh karena mempunyai sejumlah mata air dengan beberapa buah sungai yang berair sepanjang tahun,sedangkan pada wilayah baggian selatan kering dan tandus serta tidak mempunyai mata air sebaik seperti dibagian utara. Hampir seluruh kepulauan ini terdiri dari tanah putih/kapur yang berbukit-bukit dan tanah merah yang kurang subur kecuali sedikit tanah datar dibagian utara.Di sabu tidak ada gunung.Yang ada hanyalah beberapa buah puncak bukit yang tingginya kira-kira 250 m. keadaan iklimnya ditandai oleh musim kemarau yang panjang yang berlangsung dari bulan maret-november. Musim hujan mulai dari bulan desember-februari
4.1.3  Penduduk dan Mata Pencaharian
1.  Penduduk
a.  Menurut Jumlah
Menurut data tahun 1998 dari kantor statistic kabupaten kupang penduduk kepulauan sabu berjumlah 63.617 jiwa. Penyebaran pada 3 buah kecamatan adalah sebagai berikut : kecamatan sabu barat 37.623 jiwa, kecamatan Sabu Timur 19.407 jiwa dan di kecamatan Raijua 6.587 jiwa. Penduduk kepulauan ini pada tahun 1987 tercatat sebanyak 57.809 jiwa. Data diatas menunjukkan bahwa pertambahan penduduk selama 11 tahun hanya 5.808 jiwa saja.Tingkat perkembangan penduduknya rendah. Yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 31.969 jiwa sedangkan jenis kelamin perempuan berjumlah 31.648 jiwa.
b. Menurut Agama
Islam 390 jiwa, khatolik 704 jiwa protestan 47.691 jiwa dan agama suku 14.077 jiwa pada tahun 1988 penganut agama suku 20.813 jiwa selama 11 tahun terjadi penurunan jumlah penganut agama suku sebanyak 6.736 jiwa.
2.   Mata Pencaharian
Mata pencaharaian utama orang sabu adalah petani.Pada umumnya mereka bekerja sebagai peladang dan penyadap lontar. Menurut data tahun 1988, dari antara penduduk yang berjumlah 57.809 jiwa, terdapat 33.112 orang petani, pegawai 3.392 orang, tukang 142 orang, nelayan 125 orang dan pedagang 65 orang. Pola kegiatan para petani masih terikat pada siklus kegiatan menurut kalenndar lunar yang sangat erat kaitannya dengan adat istiadat yang bersumber pada konsep religi dari agama suku orang sabu.Hasil produksi pertanian sangat tergantung pada curah hujan serta tekhnologi pertanian yang sederhana.Pada beberapa decade terakhir terdapat sedikit kemajuan oleh adanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan LSM.
4.2 Hasil Penelitian
Data dalam hasil penelitian ini Nilai- Nilai Tuturan Ritual Taji Ayam Sebagai Lambang Perdamaian pada masyarakat Sabu di Desa Raerobo kecamatan  Sabu Liae kabupaten  Sabu Raijua. Taji ayam atau Pe’iyu Manu memiliki keunikan yakni Taji Ayam (Pe’iu Manu) merupakan suatu kegiatan ritual adat yang dilakukan dalam satu tahun tiga kali yaitu pada hari adat Dhaba, Banga Liwu dan Hole.  Taji ayam yang dilaksanakan pada hari adat Dhaba, Banga Liwu dan Hole adalah taji ayam yang sesungguhnya, berbeda dengan taji ayam yang di lakukan bukan pada hari adat karena taji ayam yang di lakukan bukan pada hari adat merupakan perjudian yang tidak boleh di lakukan karena apa yang mereka lakukan hanya akan merusak tanah kelahiran baik tanaman, binatang akan terserang penyakit dan hama dan manusia pun akan terkena penyakit.
Tujuan dari Taji ayam atau Pe’iyu Manu bagi masyarakat Sabu adalah untuk melepaskan segala permusuhan dan amarah yang tidak dapat di pisahkan, agar tidak boleh ada lagi darah anak manusia (keturunan Hawu Miha) yang tumpah ke tanah Sabu sebagai akibat konflik apapun dan juga mempererat hubungan persaudaraan di antara masyarakat Sabu baik dari Liae, Timur, Mesara, Seba dan Raijua. Sehingga di kemudian hari apabila saling bertatap muka antara satu dengan yang lainya tidak ada perseturuan apapun melainkan  menjalin hubungan yang harmonis dan sejahtera serta adanya sikap saling menghargai antara satu dengan yang lain.
Sampai dengan saat ini Taji Ayam atau Pe’iyu Manu masih berkembang akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman sebagian orang salah dalam memposisikan Taji Ayam sebagai kegiatan perjudian pada hal yang sesungguhnya Taji Ayam yang sebenarnya bukanlah perjudian melaikan memiliki nilai sebagai lambang perdamaian. Kaitan dengan pembelajaran bahasa Indonesia samapai dengan saat ini ritual adat Taji Ayam kurang di pahami oleh masyarakat bahwa ada hubungan antara budaya, bahasa dan masyarakat yang tersimpan dalam adat ritual Taji Ayam atau  Pe’iyu Manu sebagai lambang perdamaian bahwa dalam adat Taji Ayam atau  Pe’iyu Manu ada tuturan yang mengandung nilai.
            Menurut hasil penelitian beberapa nara sumber mengatakan bahwa Taji Ayam atau  Pe’iyu Manu merupakan suatu kegiatan ritual adat yang bertujuan untuk melepaskan segala permusuhan dan amarah manusia yang tidak dapat dipisahkan. Taji ayam adat merupakan adat istiadat orang sabu untuk menjalin tali persaudaraan agar semakin erat. Mengapa sampai  adanya taji ayam karena untuk melepaskan segala permusuhan dan amarah yang tidak dapat dipisahkan. Baik saudara bersaudara, orang tua bahkan anak-anak saling membunuh, bukan karena memperebutkan sesuatu tetapi karena amarah dan kebencian, iri hati dan dengki yang dibiarkan tumbuh di dalam hati. Karena hal itu maka Opa Lay meminta agar melepaskan segala permusuhan dan amarah kepada ayam, sehingga orang sabu dapat berhenti bermusuhan. Namun suatu waktu mereka saling bermusuhan lagi memperebutkan tanah ate sehingga banyak yang meninggal. Sehingga adanya serdadu-serdadu di dalam yang menjaga agar hal itu tidak terulang lagi. Serdadu-serdadu itu bukanlah orang yang bersekolah, serdadu-serdadu itu adalah orang-orang kuat dan sakti, mereka dipilih oleh Mone Bani utuk pergi menjaga tanah ate.
Ketika melakukan taji ayam dhaba, maka semua yang datang mengelilingi arena tersebut dan di tengah-tengah arena sepasang ayam jantan dilepaskan untuk di adu. Ketika di tempat dhaba ayam tidak dicoba terlebih dahulu untuk mencari lawan yang sepadan tetapi ayam-ayam itu langsung diikat dengan pisau dan langsung di adu. Tak ada yang berani menolak jika ayam nya yang ditarik ke arena tanpa melihat lawannya sepadan atau tidak hanya keberuntungan yang menentukan siapa yang menang. Taji ayam adat Banga Liwu dan Hole sama dengan taji ayam Dhaba.
Taji ayam yang di lakukan bukan pada hari adat itu tidak dipakai, itu hanya ke inginan mereka untuk melakukan suatu perjudian dan akibat yang timbul dari apa yang mereka lakukan adalah hanya merusak seperti yang di sampaikan para leluhur, mereka hanya membuat atau membawa rugi bagi kita orang sabu. Baik tanaman, binatang, manusia akan terkena hama bagi tanaman, penyakit bagi binatang dan manusia
Apa bila kita tidak melepaskan amarah kita lewat taji ayam adat maka kita tidak akan saling mengenal, kita tidak saling menyapa, kita akan berjalan dan bertabrakan seperti ayam yang sedang bertarung. Kita akan saling berkelahi, saling membunuh, melempar tidak hanya beradu mulut atau beradu pendapat
Tuhan merasa bosan dengan perbuatan seperti itu, sehingga ia melepaskan amarah dan kebencian yang tertanam kuat di dalam hati manusia lewat taji ayam dhaba atau adat. Jika Tuhan tidak turun tangan untuk mengatur manusia dengan baik maka manusia akan hilang lenyap karena saling membunuh satu dengan yang lain.
Dengan adanya taji ayam adat kita juga mendapatkan banyak teman, tidak hanya dari Liae saja tapi dari Timur, Mesara, Seba dan Raijua
4.2.1 Data
Dalam tuturan di bawah ini digunakan pada saat melakukan ritual Taji Ayam
Tak’ka lai la laka bolo do perai ri wo dabba laka lima
langi dhara dhari lapa wobe tab’be pa’o kattu mae dhara pa ya pa alle.
Tak’ka lai ko koro hidha pe ri peke jele manu dakka lawo dou dhari lapa wobe tab’be pa’o kat’tu mae dhara pa ya pa alle.
Ta pe’iyu manu , era ne ta pelua pe annga di do tanara dhei a’e ne ana hianga   pa era pe’iyu manu ae di do petada ne di dou  pewala rai ke di era ne pe’iyu manu.
Mala dhara mina hare ke Deo do uru ha’ku golo pa manu,ki adho do pe ato ri Muri di do mat’ti dou a’a e ta pe tab’bu.
Do ta hao alle, rowi ama rowi appu, ta della ri dahi, ri menanga, ri galla liru.
Do ta wobbe ri latia bekka pahi jawa Ae
Do ta made etta,  lake ngerru, ta  do ‘ dhai la kehe’bbe, ta luau nu kolo  te’ddu.

4.2.2 Transkip dan Terjemahan
                 Berdasarkan Tuturan di atas penulis akan menerjemahkan secara lurus sebagai berikut berdasarkan urutan.
(01)           Tak’ka     lai la laka     bolo   doperai  ri wo dabba    laka    lima
            Bertarung  ayam hitam  basah  berlari   dari   buah     ayam   hitam

(02)          langi  dhara    dhari  lapa  wobe   tab’be   pa’o  kattu   mae   dara  pa  ya   
licin    Dalam  tali     lipat    pukul telinga  jepit  kepala  lepas pisau di  saya
pa   alle
                 di   semua
Bertarung ayam jantan berwarna hitam dengan tubuh yang penuh darah dan tubuh yang terlihat licin atau berminyak oleh darah yang keluar dari tubuhnya, dengan gulungan tali yang terikat pisau di kakinya, ia memukul dan terus menghantam dan menjepit kepala dan telinga lawanya. Maka pisau dilepaskan bila salah satu telah kalah maupun terjatuh dan menyerah.
(03)           Tak’ka  lai ko koro  hidha   perai   peke      jele         manu  dakka  lawo  
            bertarug ayam burik  muti     lari     saling  menginjak ayam  datang  serbuk
dou
            orang

(04)          dhari  lapa  wobe   tab’be  pa’o  kat’tu   mae   dhara  pa  ya     pa  alle.
            tali      lipat   pukul  telinga  jepit  kepala  lepas  pisau  di   saya di  semua

Bertarung ayam burik dengan gagah dan begitu indahnya mati-matian berlari mengejar lawannya dan menghancurkannya ayam datang dan menghancurkan amarah manusia bagaikan serbuk, ia memukul dan terus menghantam dan menjepit kepala dan telinga lawanya. Maka pisau dilepaskan bila salah satu telah kalah maupun terjatuh dan menyerah.
(05)             Ta       pe’iyu   manu , era   ta        pelua    pe annga   di  do      tanara
       untuk    taji      ayam   ada  untuk   rasa     teman         kita  akan  mendapat

(06)           dhei       a’e         ne    ana   hianga   pa  era      pe’iyu   manu
     sangat   banyak   ini   anak  teman   di tempat      taji         ayam

(07)           ae           di    do    petada  ne  di       dou    pewala   rai          di     era.
           banyak   kita  yang    kenal   ini   kita  orang     lain    kampung  kita  ada
           ne   pe’iyu  manu
            ini    taji    ayam .

Dengan adanya taji ayam adat kita juga mendapatkan banyak teman, tidak hanya daris Liae saja tapi dari Timur, Mesara, Seba dan Raijua.
(08)          Mala    dhara   minaharre   deo    do       uru         ha’ku        golo  pa  manu
bosan   dalam     begitu     Tuhan  yang  dahulu  sehingga  lepas di       ayam

(09)          ki     adho   do      peato    ri         Muri            di      do      mat’ti   dou
jika  tidak  yang  atur       dari  Tuhan Allah   kita  yang  kering   orang
 ta        petab’bu
 untuk   membunuh

Tuhan merasa bosan dengan perbuatan seperti itu, sehingga ia melepaskan amarah dan kebencian yang tertanam kuat di dalam hati manusia lewat taji ayam dhaba atau adat. Jika Tuhan tidak turun tangan untuk mengatur manusia dengan baik maka manusia akan hilang lenyap karena saling membunuh satu dengan yang lain. 
(10)          Do        ta         h’ao       alle      rowi   Ama     rowi    appu
            yang    akan,    pangku   habis     dari   bapak   dari     cucu

(11)           ta         della    ri    dahi    ri    menanga   ri      galla   liru
             akan    telan  dari  laut               dari     danau      dari    bumi   langit

Si pelanggar adat akan dikikis sampe habis oleh para nenek moyang, ia akan hilang lenyap ditelan oleh laut, danau, bumi dan langit.
(12)          Do        ta           made           etta              lake    ngerru
yang   akan      meninggal   tidakwajar   lewat   muda

(13)           ta         do        dhai        la        kehe’bbe       ta         luau       nu      kolo     
akan     yang    sampai   karena  keturunan      akan     silsilah  tidak   buntu
te’ddu
lenyap

 Ia akan mati muda, tidak akan mempunyai keturunan dan namanya akan buntu lenyap dari    silsilah.
 4.2.3 Pembahasan
            Menurut hasil penelitian Nilai-nilai Tuturan Ritual Taji Ayam Sebagai Lambang Perdamaian Peiyu Manu, pada masyarakat Sabu di Desa Raerobo kecamatan  Sabu Liae kabupaten  Sabu Raijua adalah taji ayam Peiyu Manu merupakan suatu kegiatan ritual adat, adanya taji ayam karena untuk melepaskan segala permusuhan dan amarah yang tidak dapat dipisahkan. Baik saudara bersaudara, orang tua bahkan anak-anak saling membunuh, bukan karena memperebutkan sesuatu tetapi karena amarah dan kebencian, iri hati dan dengki yang di biarkan tumbuh didalam hati. Karena hal itu maka Opa Lay meminta agar melepaskan segala permusuhan dan amarah kepada ayam, sehingga orang sabu dapat berhenti bermusuhan.
            Menurut pendapat Lay Here (71) Tua Adat mengatakan bahwa kegiatan ritual taji ayam adat Dhaba hanya di lakukan tiga kali dalam setahun. Merngapa samapai adanya taji ayam dhaba karena untuk melepaskan segala permusuhan dan amarah manusia yang tidak dapat dipisahkan, baik saudara- bersaudara, orang tua bahkan tua muda saling membunuh bukan karena memperebutkan sesuatu tapi karena amarah dan kebencian yang tumbuh di dalam hati. Karena hal itu maka Opa Lay meminta agar melepaskan segala permusuhan dan amarah kepada ayam, sehingga orang sabu dapat berhenti bermusuhan. Namun suatu waktu mereka saling bermusuhan lagi memperebutkan tanah ate sehingga banyak yang meninggal. Sehingga adanya serdadu-serdadu di dalam yang menjaga agar hal itu tidak terulang lagi. Serdadu-serdadu itu bukanlah orang yang bersekolah, serdadu-serdadu itu adalah orang-orang kuat dan sakti, mereka dipilih oleh Mone Bani utuk pergi menjaga tanah ate, agar tidak ada lagi yang saling berseteru bahkan saling membunuh.
     Ketika melakukan taji ayam dhaba, maka semua yang datang mengelilingi arena tersebut dan di tengah-tengah arena sepasang ayam jantan dilepaskan untuk di adu. Ketika di tempat dhaba ayam tidak dicoba terlebih dahulu untuk mencari lawan yang sepadan tetapi ayam-ayam itu langsung diikat dengan pisau dan langsung diadu.
Sebelum melepaskan ayam ke tengah-tengah lapangan, maka ada tuturan doa lie mengao yang di panjatkan oleh si pemilik ayam adalah sebagai berikut
Tak’ka lai la laka bolo do perai ri wo dabba laka lima
langi dhara dhari lapa wobe tab’be pa’o kattu mae dhara pa ya pa alle.

            Bertarung ayam hitam basah berlari dari buah ayam hitam
Licin dalam tali lipat pukul telinga jepit kepala lepas pisau di saya di semua

Tak’ka lai ko koro hidha pe ri peke jele manu dakka lawo dou dhari lapa wobe tab’be pa’o kat’tu mae dhara pa ya pa alle.

Bertarung ayam burik muti lari           saling menginjak ayam datang serbuk orang tali lipat pukul telinga jepit kepala lepas pisau di saya di semua.

Menurutnya syair doa lie mengao ini merupakan nama suci dari ayam hitam yaitu lai laka dan ayam burik lai koro, nama ini disebut supaya ayam kita tidak dapat dikalahkan atau pun terluka kalaupun terluka tapi tidak akan merasa sakit. Ketika menyebutkan nama suci ini tidak boleh salah dalam menuturkannya, karena akan mendatangkan kesialan bagi orang yang salah dalam menuturkannya.
Menurut pendapat Doke Tudu  (63) tokoh masyarakat  mengatakan bahwa taji ayam yang dilakukan bukan pada hari adat itu tidak dipakai, itu hanya keinginan mereka untuk melakukan suatu perjudian dan akibat yang timbul dari apa yang mereka lakukan adalah hanya merusak seperti yang disampaikan para leluhur, mereka hanya membuat atau membawa rugi bagi kita orang sabu. Baik tanaman, binatang, manusia akan terkena hama bagi tanaman, penyakit bagi binatang dan manusia
Do ta hao alle, rowi ama rowi appu, ta della ri dahi, ri menanga, ri galla liru.
Do ta wobbe ri latia bekka pahi jawa Ae
Do ta made etta,  lake ngerru, ta  do ‘ dhai la kehe’bbe, ta luau nu kolo te’ddu

Yang akan, pangku habis dari bapak dari cucu akan telan dari laut dari danau dari                      bumi langit
Yang akan sambar dari petir para leluhur India
Ia akan di sambar petir  di telan oleh para leluhur dari jawa Ae (India).
Yang akan  meninggal tidak wajar lewat muda akan yang sampai karena keturunan akan silsilah tidak buntu lenyap
Menurutnya syair diatas merupakan tuturan yang berisi laknat Ilahi bagi si pelanggar adat. Menurut kepercayaan orang Sabu, adat istiadat itu diterima oleh Deo Ama dan para leluhur, oleh sebab itu setiap pelanggaran akan dikena sanksi dari Deo Ama yang jauh lebih berat dari pada sanksi dari tua-tua adat atau masyarakat.Sanksi dari Deo Ama dan para leluhur adalah berupa laknat Ilahi.
Menurut pendapat Henok Wila  (62) Tokoh Adat mengapa sampai adanya taji ayam di pilau sabu karena Tuhan merasa bosan dengan perbuatan seperti itu, sehingga ia melepaskan amarah dan kebencian yang tertanam kuat di dalam hati manusia lewat taji ayam dhaba atau adat. Jika Tuhan tidak turun tangan untuk mengatur manusia dengan baik maka manusia akan hilang lenyap karena saling membunuh satu dengan yang lain.  Dengan adanya taji ayam ini bertujuan agar kita tidak lagi saling membunuh, hal ini yang menjadi tanda bagi kita agar slalu menjaga rasa kerukunan dan persaudaraan dengan sesama.  Hal ini terdapat dalam ungkapan sebagai berikut
Mala dhara mina hare ke Deo do uru ha’ku golo pa manu,ki adho do pe ato ri Muri di do mat’ti dou a’a e ta pe tab’bu

Menurutnya Tuhan merasa bosan dengan perbuatan manusia sehingga ia melepaskan segala amarah manusia kepada ayam agar tidak ada lagi anak keturunan Hawu Miha yang saling membunuh lagi, bukan karena memperebutkan apa-apa tetapi karena hawa nafsu perusak yang menguasai mereka ingin menunjukkan bahwa mereka hebat.

4.2.4 Nilai- Nilai Tuturan Ritual Taji Ayam Sebagai Lambang Perdamaian Peiyu Manu, pada Masyarakat Sabu di Desa Raerobo Kecamatan  Sabu Liae kabupaten  Sabu Raijua
Taji ayam atau Pe’iyu Manu merupakan suatu tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang dari masa ke masa. Taji Ayam atau Pe’iyu Manu merupakan manifestasi dari kebudayaan.
Budaya taji ayam atau Pe’iyu manu dilaksanakan secara adat, yang di wariskan dari para leluhur terdahulu ke generasi sekarang sebagai bentuk untuk menghubungkan generasi yang dahulu dengan generasi yang sekarang dan mengajarkan kepada generasi sekarang bagaimana menanamkan nilai-nilai yang baik atau positif di dalam hati agar tidak ada lagi perseturuan.
Menurut pendapat Lay Here (71) Tua Adat bahwa selama ini masyarakat Sabu Liae Khususnya di Desa Raerobo, setiap tahunnya melakukan kegiatan adat ini selama tiga kali. Namun ada masyarakat yang melanggar kegiatan adat ini dengan melakukan taji ayam bukan pada hari adat dan akibatnya hanya akan membawa sakit penyakit baik pada manusia dan binatang dan hama bagi tanaman.
Secara teoritis nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang atau masyarakat serta memberi makna hidup. Nilai dalam penelitian ini tentang perilaku-perilaku budaya yang digunakan oleh masyarakat Sabu di Desa Raerobo kecamatan  Sabu Liae kabupaten  Sabu Raijua tentang nilai- nilai tuturan ritual taji ayam sebagai lambang perdamaian Pe’iyu manu.
Berikut ini nilai yang akan di bahas pada masyarakat Sabu di Desa Raerobo kecamatan  Sabu Liae kabupaten  Sabu Raijua adalah sebagai berikut:
1.      Nilai Religius
 Nilai Religius adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan sifat dan sikap yang membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu itu benar. Kutipan yang mendukung data tersebut terdapat dalam kutipan data berikut ini
(08)Mala    dhara   minaharre   deo    do       uru         ha’ku        golo  pa  manu
bosan   dalam     begitu     Tuhan  yang  dahulu  sehingga  lepas di       ayam

(09)ki     adho   do      peato    ri         Muri            di      do      mat’ti   dou
jika  tidak  yang  atur       dari  Tuhan Allah   kita  yang  kering   orang
 ta        petab’bu
 untuk   membunuh

Tuhan merasa bosan dengan perbuatan seperti itu, sehingga ia melepaskan amarah dan kebencian yang tertanam kuat di dalam hati manusia lewat taji ayam dhaba atau adat. Jika Tuhan tidak turun tangan untuk mengatur manusia dengan baik maka manusia akan hilang lenyap karena saling membunuh satu dengan yang lain. Tuturan tersebut dapat menyiratkan nilai religius yang terdapat dalam tuturan Deo ‘Tuhan’ dan Muri ‘ Tuhan Alah’. Tuturan peato dapat mencirikan bahwa kehidupan kita manusia semuanya diatur oleh Tuhan, sehingga kita sebagai manusia haruslah menjaga sikap tingkah laku kita dalam bertindak, kita tidak boleh menyakiti hati Tuhan sebab seluruh kehidupan kita adalah milik-Nya. Dalam tuturan Muri ‘ Tuhan Allah’ ini mencirikan nilai religius bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan.

2.      Nilai Seni
Nilai seni adalah sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang mengandung keindahan dan dapat dinikmati serta di rasakan oleh manusia. Seni merupakan kemampuan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. Nilai seni terdiri dari nilai etika dan estetika. Nilai etika berkaitan dengan adat sopan santun dan budi pekerti. Nilai estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan keindahan. Kutipan yang mendukung data tersebut terdapat dalam kutipan data berikut ini
(01) Tak’ka     lai la laka     bolo   doperai  ri wo dabba    laka    lima
             Bertarung  ayam hitam  basah  berlari   dari   buah     ayam   hitam

(02)  langi  dhara    dhari  lapa  wobe   tab’be   pa’o  kattu   mae   dara  pa  ya   
 licin    Dalam  tali     lipat    pukul telinga  jepit  kepala  lepas pisau di  saya
 pa   alle
                  di   semua.
Bertarung ayam jantan berwarna hitam dengan tubuh yang penuh darah dan tubuh yang terlihat licin atau berminyak oleh darah yang keluar dari tubuhnya, dengan gulungan tali yang terikat pisau di kakinya, ia memukul dan terus menghantam dan menjepit kepala dan telinga lawanya. Maka pisau dilepaskan bila salah satu telah kalah maupun terjatuh dan menyerah
(03)Tak’ka  lai ko koro  hidha   perai   peke      jele         manu  dakka  lawo  
             bertarug ayam burik  muti     lari     saling  menginjak ayam  datang  serbuk
dou
            orang

(04) dhari  lapa  wobe   tab’be  pa’o  kat’tu   mae   dhara  pa  ya     pa  alle.
              tali    lipat   pukul  telinga  jepit  kepala  lepas  pisau  di   saya  di  semua


Bertarung ayam burik dengan gagah dan begitu indahnya mati-matian berlari mengejar lawannya dan menghancurkannya ayam datang dan menghancurkan amarah manusia bagaikan serbuk, ia memukul dan terus menghantam dan menjepit kepala dan telinga lawanya. Maka pisau dilepaskan bila salah satu telah kalah maupun terjatuh dan menyerah.
Tuturan tersebut dapat menyiratkan nilai etika yang terdapat dalam tuturan Tak’ka ‘bertarung’ dan Wobe ‘ pukul’. Dalam tuturan Tak’ka ‘bertarung’ dan Wobe ‘ pukul’  ini mencirikan nilai etika  bahwa kita semua manusia tentunya memiliki sikap saling bertarung dan memukul namun kita tidak boleh mengikuti sikap menjadi seorang petarung atau sikap yang suka menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan. Tuturan Mae Dhara  ‘buka pisau’ mencirikan agar kita tidak boleh menyelesaikan setiap persoalan dengan menggunakan benda tajam atau pun kekerasan tetapi menyelesaikan dengan kepala dingin.
Tuturan yang menyiratkan nilai estetis terdapat dalam tuturan Hidha ‘muti’ Hidha meupakan sebuah perhiasan atau kalung yang begitu indah pada tuturan manu koro ‘ ayam burik’ pada tuturan ini ayam burik digambarkan seperti kalung yang indah, terlihat pada bulu-bulunya yang berwarna –warni yang begitu indah dan corak yang ada pada bulu ayam itu bagaikan muti atau perhiasan yang indah.
3            Nilai Solidaritas
Nilai solidaritas berkaitan dengan kesetiakawanan yang selalu diwujudkan dengan kebersamaan dan atau merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Nilai solidaritas atau kesetiakawanan yang tersikap dalam tuturan yang dilakukan oleh Deo Ama dalam Taji Ayam adat. Seperti yang terdapa dalam tuturan berikut ini:
(05)          Ta       pe’iyu   manu , era   ta        pelua    pe annga   di  do      tanara
       untuk    taji    ayam   ada  untuk   rasa     teman         kita  akan  mendapat

(06)           dhei       a’e       ne    ana   hianga   pa  era      pe’iyu   manu
     sangat   banyak   ini   anak  teman   di tempat      taji         ayam

(07)           ae        di    do    petada  ne  di       dou     pewala      rai      di     era.
           banyak  kita  yang    kenal   ini   kita  orang   lain    kampung  kita  ada
           ne   pe’iyu  manu
            ini    taji    ayam .

Dengan adanya taji ayam adat kita juga mendapatkan banyak teman, tidak hanya dari Liae saja tapi dari Timur, Mesara, Seba dan Raijua.
Tuturan tersebut dapat menyiratkan nilai solidaritas yang terdapat dalam tuturan
pelua ‘rasa’ Peanga ‘teman’ ini mencirikan nilai solidaritas dimana kita sebagai manusia tentunya memiliki pelua ‘rasa’  di dalam hati kita, rasa merupakan perasaan yang menyentuh hati kita untuk menjalin pertemanan. Peanga ‘teman’ kita tentunya tidak dapat hidup tanpa orang lain dengan berteman tentunya kita dapat menjalin relasi dengan baik dengan berbagai orang yang lama atau baru di kenal seperti dalam turturan  a’e ‘banyak’ bahwa banyak teman yang kita dapat, sehingga kita dapat menjalin persatuan dan kesatuan lewat taji ayam adat yang dikenal masyarakat sabu peiyu manu dhaba atau taji ayam adat sebagai lambang perdamaian, agar tidak ada lagi pertumpahan darah sesama anak keturunan Hawu Miha yang tumpah ke tanah sabu.

BAB  V
P E N U T U P
1.1    Simpulan
Dari data pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka tuturan ritual  taji ayam sebagai lambang perdamaian  pada masyarakat Sabu  di Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae  kabupaten Sabu Raijua mengandung beberapa nilai. Nilai yang dimaksudkan disini adalah seagai beriku
1.        Nilai Religius
2.        Nilai Seni
3.        Nilai Solidaritas
Dari nilai-nilai yang telah diuraikan di atas, ada pula kontribusi nilai-nilai yang terkandung dalam ritual  taji ayam bagi kehidupan masyarakat Sabu  di Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae  kabupaten Sabu Raijua yakni memberikan kontribusi positif sebagai suatu identitas dan ciri khas yang jelas kepada masyarakat setempat sebagai bagian dari tradisi dan budaya masyarakat masyarakat Sabu  di Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae  kabupaten Sabu Raijua mereka juga selalu melakukan ritual  taji ayam sebagai sebagai lambang perdamaian  karna tradisi dan budaya tersebut adalah peninggalan nenek moyang yang dilakukan sampai saat ini.


1.2    Saran
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Kepada seluruh masyarakat Kabupaten Sabu Raijua khususnya Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae  agar senantiasa berwaspada terhadap kemajuan teknologi yang menyebabkan masuk dan tersebarnya budaya-budaya asing yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat serta mengakibatkan lenyapnya budaya-budaya lokal yang telah ada.
2.      Bagi generasi muda yang ada di Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae agar tetap mempertahankan dan melestarikan budaya Taji Ayam ini agar tidak punah.
3.      Kepada seluruh tokoh pemerintah dan tokoh agama di Sabu Desa Raerobo kecamatan Sabu Liae agar dalam memperlombakan berbagai budaya yang ada termasuk budaya Taji Ayam dalam upacara perayaan hari besar, tidak hanya sekedar mencari Uang, akan tetapi lewat situasi seperti itu dapat meningkatkan dan melestarian budaya-budaya daerah agar tidak mengalami kepunahan.

                                                                    
           

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. “Linguistik Umum.” PT. Reineka Cipta: Jakarta

Damono, 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat pembinaan dan  Pengembangan Bahasa, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eka Darmaputera, Pdt DR, Etika Sederhana Untuk Semua, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988. 

Faot Sava, 2011. “Makna Tuturan Perkawinan Ike Suti” dalam     Masyarakat Neukae Kecamatan Kuatnana Kabupaten Timor Tengah Selatan, Universitas PGRI Nusa Tenggara Timur.

http://hedisasrawan.blogspot.com/2012/09/jenis-jenis-nilai-sosial-materi lengkap.html

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembagunan. Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat .1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Bina Aksara

Liliweri,  2004. Makna dan Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta

Maran Rafael Raga, 1999. Manusia dan kebudayaan dalam perfektif Ilmu Budaya Dasar, Reineka Cipta: Jakarta  

Ola, Simon Sabon. 2007. Pendekatan dalam penelitian linguistic kebudayaan.

Soekanto “Sosiologi Suatu Pengantar” CV. Rajawali: Jakarta

Soekanto, Soejorno. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali: Jakarta.

Soekanto, Soejorno. 1970. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pres

Swingwood, Alan dan Diana Laurenson. 1972. The Sosiologi of Literature. London:                                            Paladin.

Taylor, Charles 2003”Bahasa Dan Hakikat Manusia: dalam Michael T Gibbons (ed) Tafsir Politik: Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer. Yogyakarta: Qalam

Widagdho, Djoko, 2010.  Ilmu Budaya Dasar.  PT. Bumi Aksara: Jakarta

 










Comments

Post a Comment